Syech Jangkung_Pati
SIAPA
sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati
dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup
sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga
sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia
disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari
istri bernama Dewi Samaran.
Siapa
wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus
dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya
menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di
Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang
bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas
sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang
muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi
Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya.
Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup
mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui
sebagai guru sejati.
Syeh
Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin
disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang
masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil
perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama
Momok.
Sampai pada
suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas
satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi
waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah
durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang
jatuh pada siang hari.
Kiasan
Semua
itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular
itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap
ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan
seekor macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan
sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan
tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak
bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain
adalah Branjung.
Untuk
menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon
durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa
di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi
oleh Branjung justru dijahili.
Terbunuhnya
Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati.
Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan
penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan
terbukti bersalah telah membunuh Branjung.
Meskipun
dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan
seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan
bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai
murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa
tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan
anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN
- ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para
santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus.
Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar
ketimbang para santri lain.
Belum
lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus
menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia
tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk
menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air
pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng
Sunan.”
Mendengar
jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari
pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban
Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena
itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.
Akan
tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran.
Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu,
para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk
mengambil air.
Saridin
tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran
mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak
kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun
apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar
Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu
sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya
bengong.
Dalam WC
Cerita
soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi
menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru
menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan
Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh
lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali
berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak
tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas
tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan
perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang
dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena
terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan
perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah
Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang
tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri
menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang
guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk
menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus
bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal,
dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa
dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak
tenggelam.
Dalam
cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut
dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita
tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin
disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.
Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata
ATAS
jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah
dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak
perempuannya, Retno Jinoli.
Akan
tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya,
lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti
meninggal.
Dia
harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam
diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri
sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin
membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar
luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama
anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai
tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau
milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak
lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak
pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin
karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh
tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu
sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti
sedia kala.
Membagi
Dalam
peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh
yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian
umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat
Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga
usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah.
Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut
harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau
tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan,
kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok
memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher
kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para
pelayat.
Kebiasan
membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati
selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih
terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan
menyembelih kerbau hilang.
Kembali
ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal.
Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah
siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan
sebagai piandel.
Barangsiapa
memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan
dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan
bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh
disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar