BIOGRAFI SUNAN GIRI
Sunan Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu
Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah nama
salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa
Timur. Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala
“Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka) atau 1442 M dan wafat pada tahun Saka
Candra Sengkala “Sayu Sirno Sucining Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas,
Gresik.
Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu
melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir,
Ja’far Ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad
Al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani,
Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik
(Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan),
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin
(Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
B. PENYEBARAN ISLAM
SUNAN GIRI
Saat mulai remaja diusianya yang 12 tahun, Joko Samudra
dibawa ibunya ke Surabaya untuk berguru ilmu agama kepada Raden Rahmat (Sunan
Ampel) atas permintaannya sendiri. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan
Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel
mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran
Islam di Pasai sebelum menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji.
Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Di
sinilah, Joko Samudra mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya.
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau
lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin diperintahkan gurunya yang tak lain
adalah ayahnya sendiri itu untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan ajaran
islam di tanah Jawa. Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh
ayahandanya sebagai contoh tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin
berkelana untuk mencari dimana letak tanah yang sama dengan tanah yang
diberikan oleh ayahnya.
Selama 40 hari 40
malam, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk
Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya,
Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah
pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah
dalam sebuah bungkusan ini. Selesai
bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa
Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden
Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti
gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran
Pesantren Giri yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga
bekas-bekas istana. Kini di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton,
sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah
langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat
Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam
berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak
orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan
Makam Sunan Giri.
Pesantren Giri
terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga
bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan
pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas
Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang
dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai
pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat.
Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan
Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari
Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para
wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan
Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan
Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia
mengusulkan bentuk wayang diubah menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia.
Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel,
''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya.
Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487,
yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali
nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan.
Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton.
Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam,
seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri.
Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa,
seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah
Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan
Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi
umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran
Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja
Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi
raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah
itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya
Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap
sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah
menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal
sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga
tidak jelas batas wilayahnya. Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah
ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai
(Aceh). Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak
Sembuyu.
C. HASIL PENYEBARAN
ISLAM SUNAN GIRI
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi,
jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam
juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63
tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa
Timur.
Beberapa karya seni yang sering dihubungkan dengan Sunan
Giri antara lain: permainan anak tradisional jawa seperti Jelungan, Lir-ilir
dan Cublak Suweng. Kemudian juga gending Asmaradana dan Pucung, seringkali
dihubungkan dengan Sunan Giri.
KESIMPULAN
Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku, alias Muhammad
Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada
juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa
kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan
bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai
Semboja (Babad Tanah Jawi). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung
Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi
gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga
isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit
konon khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan, karena itu Raja Majapahit
memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas
dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia
juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian
pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan
ajaran Islam.
Maka dari itu bisa disimpulkan usaha-usaha yang dilakukan
oleh para walisongo terutama juga Sunan Giri telah mencoba membaur dengan
kebiasaan masyarakat setempat. Oleh karena islam dahulu telah masuk tetapi
sulit untuk diterima oleh masyarakat secara masif maka ada inovasi yang
dilakukan para walisongo. Maka menurut Ahmad Sobirin, juru kunci makam Sunan
Giri, para walisongo dalam dakwahnya
lebih mementingkan akhlak daripada fiqih. Maka dari itu proses islamisasi yang dilakukan walisongo
hampir tidak ada pertumpahan darah.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimi, S.Q. 1963.
Islam Comes to
Malaysia.
Singapore : Malaysian Sosiological Research Institute.
Kasdi, Aminuddin. 2005.
Kepurbakalaan Sunan
Giri.
Surabaya: Unesa University Press. Mulyana, Slamet.2005.
Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-negara Islam
Nusantara.
Yogjakarta: LKIS. Ricklefs, M.C. 2008.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta :Serambi Sunyoto, Agus. 2012.
Atlas Wali Songo:
Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai
Fakta Sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar